Bank Sentral, Credit Crunch, dan Harapan Usainya Pandemi

Bhaskara Adiwena
Komunitas Blogger M
5 min readMar 24, 2021

--

Photo by Tim Mossholder on Unsplash

Saya kerap berandai-andai, jika bank sentral diibaratkan sebagai seorang ayah, barangkali ia adalah seorang figur ayah yang selalu memakai baju rapi jali, memakai kacamata dengan frame hitam, rambut tersisir klimis, dengan sedikit sentuhan rona perak di rambutnya yang menandakan kayanya pengalaman dalam kehidupan.

Jika diibaratkan sebuah negara adalah anaknya, sang ayah tentu saja menginginkan anaknya tumbuh dengan baik. Ia ingin sang anak tumbuh, namun tidak tergesa-gesa, tidak juga terlampau lambat. Sesuai kewajarannya saja. Barangkali begitulah gambaran bank sentral apabila diwujudkan dalam karakter. Ayah yang satu ini memang konservatif dalam membesarkan anaknya.

Tugas Bank Sentral

Bank sentral memang memiliki peran yang krusial, namun seringnya tidak terasa dalam kehidupan kita secara langsung. Ketika berbicara tugas bank sentral, kita berbicara tentang hal yang sifatnya makro, terlampau besar. Sementara, individu seperti saya dan kamu, hidup dalam ruang mikro, dalam lingkup rumah tangga.

Secara umum, tugas bank sentral adalah menjaga perekonomian negara agar tumbuh dengan wajar. Kalau negara ini tumbuh terlampau cepat, misalnya karena ada orang-orang kaya mendadak akibat harga komoditas melambung, maka bank sentral akan mengerem agar ekonomi tidak overheat. Pengereman ini dilakukan salah satunya melalui instrumen suku bunga.

Bagaimana suku bunga bekerja? Ketika ekonomi terlalu panas, bank sentral akan menaikkan suku bunga acuan. Hal ini kemudian diikuti oleh perbankan secara umum. Ketika suku bunga tinggi, masyarakat jadi enggan untuk meminjam uang sehingga mengerem belanja yang tidak terlalu penting. Di saat yang sama, suku bunga yang tinggi menarik masyarakat untuk menabung di bank. Alhasil, dana yang dipakai untuk belanja menjadi berkurang, dan pertumbuhan ekonomi menjadi lebih lambat.

Sebaliknya, jika ekonomi lagi lesu dan perlu untuk digenjot, seperti kondisi pandemi COVID-19 saat ini, bank sentral akan segera menurunkan suku bunga acuan. Ketika suku bunga menjadi rendah, masyarakat akan berpikir dua kali untuk menabung di bank.

Sebagian orang berpikir, lebih baik dananya digunakan untuk bikin usaha yang produktif, sehingga keuntungan yang didapat lebih besar. Sebagian orang lainnya kemudian berpikir, akan lebih menguntungkan untuk menaruh uang di pasar modal atau keuangan lainnya. Hal ini yang juga menjelaskan mengapa saat ini, usaha rumahan kemudian banyak dilakukan, juga fenomena banyaknya milenial masuk ke pasar saham.

Selanjutnya, suku bunga acuan yang turun juga mendorong masyarakat untuk meminjam kredit lebih banyak. Karena apa? Ya, karena biaya untuk kredit sekarang jadi lebih murah. Maka dari itu, ekonomi juga semakin bergerak. Masyarakat pun akan meminjam uang, baik untuk konsumsi seperti beli mobil dan rumah, atau membesarkan usaha bisnisnya.

Melesunya Ekonomi

Saat ini, pemerintah dan bank sentral di hampir seluruh negara, termasuk Indonesia, telah menggelontorkan kebijakan dan stimulus untuk mendorong perekonomian. Ekonomi lagi lesu akibat COVID-19, dan ini tidak boleh dibiarkan begitu saja.

Ekonomi yang lesu mengindikasikan bahwa masyarakat hidupnya stagnan dan malah cenderung turun. Sama seperti halnya seorang anak, yang tidak bertambah tingginya, pasti orang tuanya akan khawatir.

Maka dari itu, bank sentral di Indonesia, Bank Indonesia, telah menurunkan suku bunga acuan beberapa kali. Hal ini diharapkan akan mendorong masyarakat untuk meminjam uang, dan menggunakannya untuk konsumsi dan produksi. Tak hanya itu, Bank Indonesia (BI) bersama dengan pemerintah (dibaca: Kementerian Keuangan) juga mengeluarkan kebijakan agar bisa membeli rumah dengan DP 0 rupiah untuk properti dan kendaraan bermotor agar pembeliannya semakin meningkat.

Lantas muncul pertanyaan, mengapa properti dan kendaraan bermotor? Jawaban sederhananya karena multiplier effect (efek pengganda) yang ditimbulkan. Produksi rumah dan otomotif membutuhkan dukungan banyak sektor, seperti besi baja dan semen. Hidupnya sektor properti aakan mendorong industri bahan baku sebelumnya untuk juga meningkat. Selanjutnya, pembangunan area residensial baru juga akan mendorong dibangunnya akses jalan baru, juga munculnya usaha/bisnis baru di pinggir jalan yang ada.

Saya memperhatikan, begitu banyak perusahaan properti yang tengah membangun di pinggiran Jakarta selama masa pandemi ini. Di tambah dengan paket kebijakan dan stimulus yang ada, diharapkan ekonomi akan bertumbuh lebih cepat.

Credit Crunch

Meskipun BI telah menurunkan suku bunga dan relaksasi kredit, ternyata hal ini tidak direspon dengan baik oleh perbankan. Suku bunga kredit perbankan turun terbatas dan belum turun sesuai harapan.

Perlu diingat bahwa BI hanya menurunkan suku bunga acuan, namun suku bunga yang riil langsung dirasakan oleh masyarakat adalah yang ditetapkan oleh masing-masing bank. Dengan berbagai catatan, perbankan mengemukakan belum dapat mengikuti keinginan bank sentral.

Di tengah kondisi pandemi ini, kredit juga tudak tumbuh seperti yang diharapkan. Pertumbuhan kredit yang melambat menjadi konsekuensi dari krisis yang juga kerap dikenal dengan credit crunch. Fenomena credit crunch muncul karena perbankan enggan untuk memberikan kredit karena rendahnya permintaaan.

Dari sisi penawaran (supply), perbankan perlu berhati-hati terhadap tingginya memberikan risiko di masa krisis. Untuk menjaga agar kredit dapat dikembalikan, perbankan melakukan seleksi pemberian kredit yang lebih ketat.

Dari sisi permintaaan (demand), kalangan industri masih wait and see untuk meminjam uang karena takut usahanya menjadi tidak baik. Berbagai indikator ekonomi menunjukkan bahwa banyak perusahaan menunda ekspansi bisnis dan menurunkan target produksi.

Permasalahan yang terjadi saat ini sejatinya bukan karena perbankan tidak ada uang (illiquidity), melainkan ketakutan bahwa masyarakat tidak mampu membayar utang (insolvency). Jika credit crunch ini terus dibiarkan, hal ini akan berdampak tidak baik terhadap upaya pemulihan ekonomi.

Untuk mengatasinya, perlu ada kerja sama dari berbagai elemen instansi pemerintah. Mendorong pemberian kredit oleh perbankan perlu diikuti penjaminan bahwa kredit akan dikembalikan. Pemerintah dapat memberikan subsidi/penjaminan untuk itu sehingga perbankan akan nyaman meminjamkan uang.

Kembali Tumbuh Sehat

Menulis ini membuat saya jadi teringat ayah saya. Penggambaran karakter ayah bank sentral di atas, memang tidak sama persis dengan orang tua saya. Ayah saya rambutnya tidak klimis, melainkan kribo. Ia tidak konservatif dalam melarang ini itu, beliau cukup egaliter.

Tentu saja, sebagaimana kebanyakan ayah, beliau ingin anaknya segera pulih jika saya mengalami sakit. Ayah pasti ingin anaknya tumbuh sehat. Di waktu kecil, ketika saya mengalami sakit demam tinggi, saya ingat kalau saya pernah panas selama tiga hari. Pemulihan badan saya tidak instan, melainkan bertahap. Di situ, ayah menjaga saya.

Ketika berbicara pemulihan ekonomi, seperti saat ini, dampaknya tidak bisa langsung kelihatan. Mari senantiasa berupaya terbaik bahwa ekonomi segera membaik. Apabila elemen bank sentral dan pemerintah diibaratkan sebagai orang tua, para tetua itu sudah bekerja sama dan bahu membahu, meski kita sadari masih ada kekurangannya. Setidaknya, semua sudah bekerja sama.

Banyak indikator menunjukkan bahwa perlahan ekonomi mulai pulih, tentunya dikarenkan oleh berbagai paket kebijakan, termasuk relaksasi kredit dan suku bunga oleh bank sentral. Pemberian vaksin secara masif juga mulai dilakukan, bahkan hingga di daerah.

Ayah mana yang tidak ingin anaknya tumbuh sehat ?

Sejenak, mari berandai-andai menjadi seorang ayah. Mari berharap yang terbaik untuk anak di negeri ini. Semoga semua membaik, semoga semua kembali sehat.

--

--

Bhaskara Adiwena
Komunitas Blogger M

Memiliki ketertarikan kuat dengan ilmu ekonomi, kesehatan, filosofi, serta peningkatan produktivitas.