Kita Sudah Bosan. Sampai Kapan Kita Bisa Bertahan?

Bhaskara Adiwena
Komunitas Blogger M
3 min readApr 3, 2021

--

Photo by Nadine Shaabana on Unsplash

Pandemi saat ini menyerang manusia dari dua aspek. Aspek pertama, dimensi materi, ia memperlemah mesin ekonomi dan menggerus kesejahteraan. Banyak manusia kehilangan pekerjaan, sebagian lainnya kemudian jatuh dalam kemiskinan. Pandemi menyerang kebutuhan dasar manusia sebagai homo economicus, yakni makhluk yang senantiasa berusaha untuk memenuhi kebutuhan kenyaman hidup. Tidak sedikit manusia yang kini hidupnya semakin sulit akibat pandemi.

Kedua, dari aspek emosional, pandemi menghambat kesempatan manusia untuk mengeskplorasi sifat sosialnya untuk bercengkerama dengan manusia lainnya. Sebagai homo socius, sebagian dari kita begitu tertekan dengan aturan pembatasan sosial. Kita sedih ketika tidak mampu bertemu tatap muka dengan rekan kerja, atau berinteraksi dengan teman kuliah. Pandemi meniadakan jarak fisik yang dekat, termasuk berkumpul di ruang yang sama dengan manusia lainnya secara hangat.

Saat ini, sepertinya kita sudah bosan. Sebagian dari kita kemudian melanggar aturan pembatasan sosial, meski regulasi ini sejatinya baik untuk kepentingan bersama. Berbagai ungkapan kekesalan bisa kita baca di media sosial, termasuk ketika pemerintah melarang masyarakat untuk mudik pada bulan Ramadan. Kini, pusat perbelanjaan juga semakin ramai, seakan virus COVID-19 sudah sirna.

Tahun 2020 silam, ketika statistik COVID-19 tidak seburuk sekarang, masyarakat sangat berhati-hati untuk keluar rumah dan berinteraksi. Setahun berselang, pada tahun 2021, data penyebaran dan kematian mengalami eskalasi yang tinggi, namun masyarakat justru semakin abai untuk hidup dengan mawas diri.

Perilaku ini dapat dijelaskan dalam disiplin ilmu ekonomi perilaku (behavioral economics). Masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah, memang perlu ke luar rumah untuk menyambung hidup. Dengan tingkat edukasi yang relatif rendah, mereka mau tidak mau menjadi tidak peduli dengan penyakit ini. Mereka merasa sehat-sehat saja. Hal yang kemudian dapat terafirmasi dengan kondisi mereka yang juga jarang terkena penyakit. Meskipun, tentu saja, tidak semua dari mereka.

Di sisi lain, kelas menengah atas pun mulai merasa bosan. Kebiasaan mereka untuk nongkrong di kedai kopi atau berjalan-jalan di pusat perbelanjaan selama pandemi tidak terpenuhi. Ini yang membuat sebagian mereka berpikir, “jika kelas menengah bawah saja dapat sehat walafiat dengan kualitas hidup dan nutrisi yang tidak sebaik saya, mengapa saya tak bisa?” Alhasil, sebagian dari kelas menengah atas pun sekarang mulai berani untuk bertemu di ruang publik. Mereka percaya bahwa mereka memiliki imunitas yang lebih ‘superior’ ketimbang masyarakat kelas menengah bawah.

Saat ini, ada rasa syukur ketika pemberian vaksin COVID-19 semakin masif dilakukan. Ada pengharapan di sana, terutama bagi individu yang hingga saat ini memiliki kesehatan prima, sehingga masih dapat beraktivitas dengan normal.

Hingga saat ini, kita semua bertahan. Namun, tak dapat dipungkiri, kita sudah bosan. Pertanyaannya, sampai kapan kita bertahan? Banyak studi menunjukkan bahwa periode pandemi ini akan berjalan panjang. Tidak ada yang tahu pasti, kapan kita bisa hidup berdamai dengan virus ini. Dalam kondisi apapun, kita perlu untuk tetap siaga dan menjaga kewaspadaan diri.

Saya teringat sebuah pepatah Jawa, kesandhung ing rata, kebentus ing tawang. Tersandung di tempat yang rata, terbentur ke langit. Sebuah kejadian yang jarang sekali terjadi. Pepatah Jawa ini menyiratkan bahwa kecerobohan sejatinya dapat membuat sengsara. Menjadi waspada barangkali menjemukan, tetapi hal ini dapat menyelamatkan.

--

--

Bhaskara Adiwena
Komunitas Blogger M

Memiliki ketertarikan kuat dengan ilmu ekonomi, kesehatan, filosofi, serta peningkatan produktivitas.